Pedih

RATED 15+
Ini ff kedua ttg Juth karena yang sebelumnya sedikit gagal.

-------------------------------------------------------------------------------------

Sakit. Sakit. Sakit.

Beribu jarum menghujat tubuhku. Silet tajam mengiris kulitku. Lapis perlapis, perlahan-lahan. Lapisan pertama kulitku terlihat putih. Lapisan kedua kulitku terliha basah. Pada lapisan ketiga darah mulai keluar dari pori-poriku bagai bunga merah yang bermekaran pada musim semi, tumbuh dan muncul dari balik selimut salju.

Suaraku berbondong-bondong ingin keluar. Sudah kularang mereka untuk keluar, tapi mereka tetap tidak mau mengerti.

Akhirnya kugigit bibirku untuk menghentikan mereka. Mereka mengumpul pada kerongkonganku dan protes padaku. Tenggorokanku terasa sakit dan aku seperti tercekik oleh suaraku sendiri.

Heran, padahal mereka adalah suaraku. Kenapa mereka tidak mau menurutiku?

Kugigit bibirku lebih keras. Rasa asin dan amis memenuhi lidahku. Aku kenal rasa ini. Rasa darah.

Suara-suara milikku makin semangat dan makin mendesak keluar.

Aku sudah cukup dipusingkan dengan suaraku, dan kini air mataku ikut-ikutan ingin keluar.

Kugoyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Terjadi pertarungan batin antara diriku dan air mataku. Kuhantam keningku pada tembok kotor yang tak jauh dari tempatku terduduk penuh luka.

Air mataku menang. Mereka keluar dengan derasnya dari kelopak mataku.

Aku kalah oleh air mataku sendiri.

Mungkin air mataku sedang marah. Mungkin mereka sama marahnya denganku. Karena aku dapat merasakan tubuh mereka mengalir di pipiku. Mereka terasa amat panas. Air mataku tak ada ubahnya dengan lahar yang meleleh dan menyusuri lereng gunung, melepuhkan kulit bumi.

Mereka jatuh menghantam bumi, lalu hancur berantakan dan tak bersisa. Aku hanya dapat menatap air mataku sendiri, melihat mereka musnah, melihat mereka hancur. Aku tak bisa menarik air mataku kembali lagi.

Tetesan air mataku terus berlanjut. Ingin kuhentikan air mataku itu. Suara-suara tetesan mereka terdengar seperti dentingan yang menyedihkan. Suara yang berbaur dengan sempurna dengan degup jantungku yang terdengar semakin keras.

Tak lama kemudian peluh menyusul air mataku. Mereka juga ikut meninggalkanku. Tetesan semakin banyak, semakin deras. Degup jantungku semakin cepat. Cepat sekali seperti akan meledak di dalam dadaku, lalu seluruh organ tubuhku akan meloncat keluar dan jatuh berhamburan--meninggalkanku.

Paru-paruku juga tampaknya mengambek padaku. Ia sudah lama ingin bekerja, tapi pekerjaannya terhalang oleh suaraku yang tertahan pada kerongkonganku.

Tak mungkin aku dapat membujuk paru-paru untuk tak mengambek padaku. Karena suaraku saja tidak mau bekerja sama denganku. Sungguh membingungkan.

Akhirnya kuambil sebilah belati. Dengan sekuat tenaga kutarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha fokus, tapi musik dan irama dari tetesan air mata, peluh dan degup jantungku terus-menerus merusak konsentrasiku.

Kuayunkan tanganku tinggi-tinggi dan dengan satu gerakan kuat, kubenamkan belati itu pada telapak kakiku, berharap tubuhku mau menyadari kekuasaanku.

Terlihat sebuah cipratan kemerahan yang mengenai dinding kotor kamarku, membentuk lukisan alamiah yang indah dan tak mungkin ada replikanya di dunia ini.

Aku terpukau oleh kecantikan itu, begitu terpesona hingga aku lengah.

Suaraku tidaklah bodoh. Mereka mengambil kesempatan saat aku lengah dan menyeruak keluar dari mulutku. Jumlah mereka begitu banyak dan mereka keluar dengan kasar hingga menyakiti pita suaraku.

Terlambat, aku sudah tak bisa menghentikan mereka. Mereka terus keluar bagai anak-anak remaja yang bersikeras untuk melihat dunia. Padahal aku sudah berusaha melindungi mereka dari dunia luar. Mereka tak mau mengerti aku.

Hening.

Seluruh suaraku lenyap tersapu angin dingin. Mereka hancur ditelan dunia luar. Mereka tak akan kembali lagi padaku. Mereka telah mati.

Hening.

Bunyi yang tersisa hanyalah tetesan air mataku dan peluhku yang mulai mengering dan semakin habis. Dan juga degup jantungku.

Mungkin sebentar lagi air mataku dan peluhku akan semuanya meninggalkanku. Mereka akan hilang dimangsa kenyataan yang kejam dan tanpa ampun.

Aku yakin tinggal masalah waktu hingga degup jantungku pun mengikuti jejak mereka.

Dan aku akan sendirian.

Sendirian tanpa tubuhku sendiri.

Sendirian tanpa "aku".

Sendirian hanya ditemani kenyataan.

Kenyataan bahwa aku sendirian.

Sendiri.

Jadi gak bisa ngomong apa2 ^^;
Sedih banget -___-

Entah kenapa gw jadi pengen nangis baca ini T____T

*hiks hiks*
Kasian amat si Juth T____T
huhuhuhu......*neng, bknnya km mas 12 tahun?*

yang kuharapkan sih sebenernya komentar "adaw".

lain kali kubikin cerita yg anaknya buta karena matanya dicongkel demi mengeluarkan tumor pada otaknya.


...


dan untuk bagian yg itu, ak ga ngarang. beneran ada anak yg dicongkel matanya demi mengeluarkan tumor pada otaknya.

Oh ya! Satu kata: Ouch!! ^^;
Setelah dibaca lagi ada bagian yang menyakitkan banget -____-

Tapi emang bener sih, sampai rela hilang salah satu organ tubuh untuk melepaskan tumor

soalnya dia masih bayi. dia dapet tumornya di kandungan.

sekarang dia jadi buta. karena mata yang satunya lagi mengecil n ga guna.

trus otaknya kecil, jadi dia sedikit autis.


*kok jadi curhat ya?*

Aduh ^^;
Kasihan banget yang punya penyakit semacam itu... -___-

Gak ada penyembuhannya gitu?

humn... entah kenapa aku masih bingung kenapa dia gak bisa ngomongin tentang hal itu [kwjujuran]

dan aku masih bingung soal Juth, intinya dia gak bisa ngomong- [bisu], dan tiap kali dia ngeliat kejujuran, dia gak mau ngomongin karena takut konsekuensinya?

Kesan angst-nya terlalu dipaksakan ^^;; entahlah, kali ini gak ngasih kesan iba buatku sih ^^;;

Aku ga mau ngasih kesan iba.

yg aku pengen kasih itu kesan "sakit". yg ak pengen kasih itu kesan "nyeri"

bukan kesan "iba".

well, sakit itu biasanya menyebabkan rasa 'iba' bagi para pembaca.

dan itu salah satunya, entah kenapa rasa sakit itu tidak tersalurkan, makanya kukira ini cuma 'berkesan sakit' dengan kata-katanya ^^;;

maap kalo sembarang komen m(_ _)m [padahal yang komen bikin omake bener ajah ga bisa]

gpp.

Wakakakak ak ngeliat sakit ga ngerasa iba tuh. *ga berperasaan*

Go sachsen~~~

Spoiler:

Spoiler:

Spoiler:

Wakakakakakak~~~ Sachsen~~~

*fangirling sachsen mode: ON!*

*merinding*

Egh... Ceritanya... Serem dan sedih... Entah kenapa, kok aku juga ngerasain apa yang dia rasa ya...?^^; Jadi merinding...^^;

kirain merinding ngeliat gambar kerennya sachsen.

*ganti virus BL jadi virus sachsen*

SACHSEN!

Aku juga merinding ngeliat gambar-gambarnya...^^;
Sadis... Baik gambar maupun ceritanya.

Tapi, cerita buatan Nau yang ini kayaknya yang paling bagus (menurutku) daripada cerita-cerita buatan Nau yang lainnya.

Lebih membuat pembaca-pembacanya masuk ke dalam cerita.

^^;; thanks

tp kaname bener, ini cerita justru kupaksain bgt. ^^;

rather than this story, i like the others better :s

kayak cerita Juth yang laen :s

ini kata2nya emang serem semua sih...

BBTW, pas juth ngambil pisau, kukira mau ditusuk ke perutnya, taunya kakinya :p

Lebih asik kalo telapak kaki sih. Lebih... sakit ^^

iya sih

dia gka cekek lehernya sendiri? biasanya kalo mo nahan suara kan nyekek leher [diinjek]

aku gak tau deh... gak pernah nyobain nusuk perut maupun telapak kaki sih :p

Hehehe sebenernya sih ini obsesi setelah baca homunculus.

Trus ada anak yg suka nyilet-nyilet pergelangan kakinya (secara vertikal).

Trus darah yg keluar itu realistis banget digambarnya, lengket n kental. trus tuh cewe suka jilat2 darahnya ndiri gitu

ga tau knp imej tuh cewe ngelekat bgt di ak. meskipun pas ngeliat ak rada merinding juga