Sori, ini cerita ttg OCku Juth (lagi). Ak lg bosen ama Nauka.
--------------------------------------------------------------------------
Aku tak apa, aku tak apa. Jangan coba-coba untuk membantuku. Aku tak butuh uluran tangan palsu itu. Percuma saja kau menguras tenagamu secara sia-sia untuk mengulurkan tangan itu, hanya akan kutepis. Ya, hanya akan kutepis.
Aku tak apa. Percayalah. Aku jauh lebih baik tanpamu. Tanpa bantuanmu yang tak pernah kuharapkan itu.
Aku tak apa. Dengarkanlah aku ini. Aku jujur, tak seperti dirimu.
Aku tak apa-apa.
“Kenapa kamu selalu menghindar, Juth?” tanyamu. Aku hanya menggigit bibir dan memalingkan wajahku dari wajahmu yang menunjukan ekspresi prihatin. Hanya aku yang dapat melihat ekspresi tersembunyimu. Tak mengerti jugakah kamu kalau aku dapat melihat segala hal tentang dirimu?
Hidup ini sudah tak lagi menyenangkan untukku. Semua hal telah terkuak olehku. Tak ada lagi misteri bagiku kecuali misteri kematian yang menunggu setiap manusia di akhir hidupnya.
Tapi kematianpun bukanlah misteri yang terlalu besar untukku. Aku tahu seperti apa kematian itu. Aku bisa melihatnya. Tidak, aku bukan pelihat masa depan, namun percayalah, aku tahu kebenaran di balik setiap mitos kematian. Aku tahu, aku dapat melihatnya. Hanya saja begitu abstraknya visualisasi itu hingga aku tak dapat menemukan satu katapun untuk menjelaskannya. Bahkan aku tak sanggup merangkai kalimat maupun paragraf untuk menceritakannya. Kurasa meskipun aku menulis berlembar-lembar halaman tentang kematian, kalian tak akan benar-benar mengerti kebenaran dari kematian itu.
Begitu pula dengan ekspresi wajahmu.
Kamu menepuk pundakku dan kembali mengulang pertanyaanmu itu.
Aku hanya melontarkan pandangan jijik ke arahmu, tapi kamu tampaknya tak mau melihatnya. Kamu sedang berbohong. Berbohong pada dirimu sendiri dan padaku. Dirimu yang ada di hadapanku tak terlihat lagi seperti manusia di mataku ini. Kamu adalah seekor lintah raksasa. Tapi bukan lintah raksasa biasa. Kamu adalah lintah raksasa yang sangat, sangat,
sangat menyedihkan.
Aku membuka bibirku yang sedari tadi terkatup, dan berbicara dalam kebisuan. Sebuah ejaan bibir. Aku hanya dapat berharap kamu dapat membacanya.
Akulah yang kasihan padamu.
Kamu lintah menyedihkan yang sedang berusaha menyedot darahku dengan kebohongan. Kamu memberiku makan kebohongan agar aku dapat menggemuk dan dapat kau lahap dengan mudah.
Kau salah.
Akulah yang kasihan padamu. Dan aku sangat benci padamu. Benci.