Dongeng Pengantar Kematian

Prologue.

Kubuka lembaran buku cerita berdebu. Harum kertas tua menusuk hidung—tapi aku menyukainya. Harum yang khas itu.

Mataku menyapu pemandangan ruangan penuh dengan lemari kayu. Berpuluh-puluh buku berjejer rapi pada lemari tersebut. Beberapa masih tampak kokoh meskipun kertasnya telah menunjukkan noda-noda merah dan warnanya yang dahulu putih kini berubah menjadi kecokelatan. Beberapa di antaranya telah berubah menjadi ongokan sampah yang telah termakan rayap. Beberapa telah terkena tetesan air hujan yang meresap melalui langit-langit tua yang bocor.

Kembali kuperhatikan lembaran buku cerita yang terbuka di pangkuanku. Anganku seakan diputar-balikan. Kenangan masa kecil yang berwarna-warni bak ilustrasi buku cerita itu melesat dan muncul kembali di dalam otakku. Satu per satu, dalam kecepatan yang tak terbayangkan, menampakan dirinya setelah sekian lama bersembunyi dalam liang memoriku.

Cerita dongeng.

Keberadaan polos nan suci yang lahir dari imajinasi seorang yang juga tak kalah polos dan jauh dari kekejaman dunia. Keberadaan yang ada untuk membawa amanat pada mereka yang masih belum mengenal dunia, hidup dalam lumbung kasih dan kehangatan; para anak-anak.

Lalu kini? Apalah arti keberadaan itu saat mereka telah keluar dari lumbung itu? Apalah arti keberadaan itu saat anak-anak kecil telah tumbuh dewasa, terbang tinggi dan membentur langit-langit kekejaman—jatuh, tanpa sayap dan menjadi gila?

Menjadi gila.

Bukankah cerita dongeng adalah suatu keberadaan yang lahir dari imajinasi?

Apakah orang gila berimajinasi?

Aku tertegun sejenak dan meringkuk dalam pojokan yang dingin, kakiku yang tak beralaskan menyentuh lantai yang beku.

Kucoba. Ya, aku akan mencoba.

Kucoba untuk berimajinasi kembali.

Cerita 1. Tudung Merah

Derap langkah kaki halus terdengar dari hutan yang berkabut. Selangkah maju, selangkah ke kiri, selangkah ke kanan. Tak ada langkah mundur.

Tak ada.

Tak akan pernah ada.

Sang gadis bertudung pun tak pernah berpikir untuk sekedar membalikan wajahnya, menatap jalan yang telah ditinggalkannya.

Angin sore yang lembab berhembus pelan. Mereka bermain-main dengan rambut gadis itu. Rambut pirang bagai surai singa yang gagah. Sinar matahari yang menyusup melalui celah dedaunan yang lebat membuat rambut itu bercahaya bagaikan emas. Singa bersurai emas.

Kedua mata yang biru terang milik gadis itu menatap lurus ke depan. Sorot matanya yang tajam seolah-olah dapat mengiris dan memotong habis apapun yang menjadi penghadangnya. Tapi di saat yang sama, sorotan mata tersebut menunjukan kekosongan. Seolah-olah hanya raga sang gadis itu yang berada di tempat itu. Mungkin jiwanya entah dimana. Mungkin gadis itu memang tak berjiwa.

Mendadak gadis itu menghentikan langkahnya. Ia tarik tudung merahnya hingga menutupi matanya yang tajam itu.

Tak lama kemudian terdengar raungan keras dari balik semak-semak. Seekor serigala melompat keluar dan mendarat tepat di depan sang gadis. Serigala itu bagaikan mayat hidup. Ia tak lebih dari tulang-belulang yang terbungkus kulit kelabu. Kulit kelabu itu ditumbuhi oleh beberapa helai bulu, lalu sisanya ditumbuhi oleh jamur dan kudis. Ekor serigala itu terkulai lemas dan air liurnya yang keruh menetes dari sela-sela giginya yang tak lagi lengkap.

Gadis itu menatap dingin serigala itu. Serigala itu menatap gadis itu dengan tatapan memelas, kelaparan.

“Gadis kecil, hendak kemanakah kau?” Tanya sang serigala dengan suara lemah.

Gadis itu mendengus pelan lalu menjawab dengan nada tak ramah, “Bukan urusanmu, mahkluk sekarat.”

Serigala itu menunjukan ekspresi sakit hati di balik ekspresinya yang lemah. Tampaknya otot-otot di wajahnya sudah tak begitu mampu berfungsi dengan benar.

“Ya, aku memang sekarat. Hutan ini tak lagi ramah bagi siapapun—bahkan kepadaku. Maukah kau membantu mahkluk sekarat ini, gadis kecil?” pinta serigala itu. Suaranya tak terdengar begitu jelas dan pengucapannya terdengar aneh. Mungkin lidah serigala itu telah ngilu.

“Tidak,” jawab gadis bertudung itu singkat.

“Kumohon,” serigala itu kembali meminta. “Bisa jadi aku adalah satu-satunya hewan yang masih bertahan hidup di hutan yang kejam ini.”

Mata gadis itu membulat, menatap lurus ke arah serigala itu, lalu menjilat bibir atasnya.

“Oh begitu?” ujar sang gadis.

Serigala itu menatap gadis yang tampak ganjil itu, namun tiba-tiba ia merasakan sesuatu mengenai tengkuknya.

Gelap.

Terdengar bunyi besi, lalu bunyi suatu benda yang berat terjatuh di tanah yang licin dan penuh lumut.

Gadis itu mengusap darah yang mengenai wajahnya dengan tudungnya.

“Yang terakhir selalu yang terbaik dan paling memuaskan… untuk dibunuh.”

Hening.

Lalu terdengar derap langkah kaki halus terdengar dari hutan yang berkabut. Selangkah maju, selangkah ke kiri, selangkah ke kanan. Tak ada langkah mundur.

Waktu terus berputar. Ia harus menemui seseorang.

Mungkin saja orang itu dirimu.