Hei

oi ^^;
ini siapaXsiapa???
aku bingung -___-

lanjuut

----------------

Aku termenung di depan kaca. Sekali-sekali kuraba pipiku yang kini terasa panas.

Kukembali teringat kata-katanya, bisikannya, nafasnya yang menghembus pada telingaku dan bibirnya yang walau hanya untuk beberapa detik, menempel pada pipiku ini.

Kubasuh pipiku dengan air dari wastafel yang terpampang di hadapanku. Dinginnya air yang menyentuh kulitku tampaknya tidak bisa mendinginkan rasa panas pada pipiku.

Kuperhatikan lagi wajahku. Aku merona.

Kenapa?

Terdengar suara pintu diketuk dan dibuka. Ia masuk ke dalam ruangan.

Sial, rupanya aku lupa menguncinya.

"Sedang apa kamu disini setengah jam lamanya?" tanyanya bingung walau masih tersenyum.

Melihat senyumannya, aku teringat akan kejadian kemarin malam. Aku teringat banjir air matanya dan isakan tangis yang menyayat hati itu.

Kini ia kembali tersenyum seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk bertanya, "Kenapa kamu kemarin malam menangis?"

Kuperhatikan wajahnya, menunggu reaksi. Ekspektasiku adalah ia akan kembali sedih atau bahkan marah karena aku bertanya hal yang sifatnya pribadi.

Tapi tidak. Ekspresinya tenang, setenang air pada sebuah telaga yang damai. Ia hanya memasang senyumnya yang paling indah dan berjalan menghampiriku, merangkul pundakku.

"Karena," ujarnya dengan suara yang (ironisnya) ceria. "Karena aku juga punya perasaan."

Aku bingung dan menatap matanya, mengharapkan penjelasan lebih lanjut.

"Kalau begitu, kenapa kamu menangis di depanku? Padahal di depan orang lain kamu kelihatan kuat," ujarku lagi. Mungkin terdengar tidak sopan, tapi kurasa keingin-tahuanku tak dapat dibendung lagi.

"Sebenarnya, melebihi siapapun, aku ingin terlihat sebagai laki-laki yang paling kuat di hadapanmu," jawabnya. Kurasakan rangkulannya merenggang. "Tapi melihatmu, rasanya sulit untuk berbohong."

Aku diam. Dia berjalan menjauh. Kali ini aku yang, seperti panik, menahan tubuhnya dari belakang. Tubuhnya kuat. Tubuh yang aku inginkan. Tidak, tubuh yang diinginkan oleh setiap lelaki. Tubuh yang diperlukan bagi seorang lelaki untuk melindungi yang mereka sayangi. Tubuh yang tidak kumiliki.

"Aku masih belum mengerti," ujarku sambil memeluk punggungnya. "Kamu sepertinya menyukaiku, tapi kenapa mengingat namaku saja kamu tidak bisa?"

Ia berbalik dan mendorong tubuhku, lalu mengangkat wajahku agar mataku melihat matanya.

"Karena aku memang tidak bisa," jawabnya. "Kalau aku bisa, mungkin aku tidak akan disini."

Aku tertegun. Ya, kami berdua disini untuk hal yang sama: kesembuhan.

Aku menatap kamar mandi pasien ini. Kamar mandi untuk kami, penderita cacat mental--atau setidaknya, itulah sebutan mereka yang mengaku normal pada kami.

Rasanya kami normal-normal saja. Hanya saja kami melihat dunia pada sudut pandang yang berbeda. Kami merasakan apa yang orang lain rasakan juga.

Tiba-tiba ia menunduk, memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya secara spontan.



Ya, mungkin kami tidak senormal itu. Tapi siapa yang peduli?


TBC

Kayaknya gw tau deh sapa yang ngunjungin pasien itu terus
Pasti itu Nauka...mungkin...

kmu uda tau gender mereka sekarang?

Hm...perasaan gw cowok...ama cowok? O_o;
*merinding*

yah kira-kira begitu.

CnC pls

Swt...
Ketauan pas baca bagian terakhirnya ^^;
Gw kira awalnya cewek-cowok taunya...*ngerinding*

Apa orang yang disukainya itu juga ada di Akademi?

wakakakakak

orang yg disukai siapa? ^w^ mereka orang rehab kok

Heemmm O_o
tambah penasaran kyaaa...bl...

weks, bikin serem nih.

Kubalik-balik lembaran buku di hadapanku. Sebuah buku yang bertuliskan catatan perkembangan mentalku serta komentar dari para psikolog.

Aku tak habis pikir kenapa aku harus dikomentari seperti ini. Tahu apa mereka tentang diriku? Mereka hanyalah orang lain. Orang lain yang munafik dan berusaha mengerti tentang diriku. Mereka tak pernah merasakan apa yang ku alami, mereka tidak melihat apa yang telah kulihat!

Terdengar suara pintu dibuka. Seperti biasa ia masuk. Harusnya aku tidak begitu kaget. Dia memang teman sekamarku. Tapi akhir-akhir ini aku merasakan ada yang lain darinya.

Ia tersenyum padaku dan berjalan ke arahku dengan langkahnya yang lebar dan cepat. Tak lama kemudian kurasakan lengannya yang kuat melingkari pundakku.

"Sedang apa?" tanyanya dengan nada ramah.

"Sedang... membaca," jawabku jujur. "Lebih tepatnya membaca jurnal perkembangan penyakitku."

Ia tersenyum kecut dan mendengus, "Kamu tidak sakit."

Aku mendelik dan balik bertanya, "Masa?"

"Ya," jawabnya dengan sebuah anggukan pasti. "Kita berdua tidak sakit. Kita hanyalah orang yang berbeda, dan dianggap sakit oleh dunia yang sok tahu ini."

Aku mengangguk-ngangguk meskipun aku tidak begitu paham. Bagiku, duniaku adalah satu-satunya yang kumiliki. Aku tidak pernah tahu dunia yang dimiliki orang-orang pada kebanyakan. Aku tidak mengerti kenapa mereka menganggap apa yang kulihat itu tidak ada.

POK! Sebuah tepukan lembut mendarat pada kepalaku, membuyarkan pikiranku.

"Jangan bengong," ujarnya sambil tersenyum.

Aku membalas senyumannya dan juga tepukannya.

Sesungguhnya aku merasa bahwa dia benar-benar normal. Bahkan melebihi normal. Ia mendekati kesempurnaan.

Aku bingung kenapa orang sesempurna dia bisa masuk ke jurang kondisi mengenaskan sepertiku. Harus terkurung di rehabilitasi sepertiku.

"Kenapa kau bisa ada disini?" pertanyaan itu akhirnya terucap juga oleh mulutku.

Ia diam sesaat dan tampak berpikir.

"Kurasa karena masalah pada memoriku," ujarnya. "Aku bisa mengingat kata-kata, gambar dan kejadian. Tapi entah kenapa aku kurang pandai mengingat nama."

Entah kenapa aku sedih. Aku ingin dia setidaknya mengingat namaku.

"Ini, ambil dan bacalah!" ujarku sambil menyerahkan jurnal pribadiku.

Ia tampak kaget untuk sesaat, lalu menerima jurnal itu sambil bertanya, "Kenapa? Ini kan sangat pribadi."

"Tidak apa-apa. Bacalah nama yang tertera disitu!" pintaku.

Ia membacanya, tapi tidak berkata apa-apa.

"Siapa aku?" tanyaku memastikan.


Ia tersenyum, "N-A-U-K-A. Nama yang aneh untuk orang yang normal."


TBC

Kappa sama temen rehabnya kappa yah^^
ceritanya...rasanya manis dan dalem yah^^ hehe~

terinspirasi dari Crazy Lifenya Yunho lol *ngek ngek ga penting*

crazy life~ <3

Ok...Jd ini Naunau sama..... O_o
Jgn bilang sm Eanae (eanae milikku! *shotacon mode-on*)

bukaaaaaan!!!

Dx

orang yg satunya lagi itu bertubuh lebih besar n lebih kuat daripada nauka kok. -__-;;

yah... kelepasan ngasih bocoran deh

kehekhekhe~ Naunau kepancing juga
udah ah, btt
lanjutin klo nggak

tp toh bocoran itu cuma bikin kmu bingung lol jadi ga masalah

Don't try to out-evil the evil of the evils.

Swt...jadi...selama ini, orang yang sering 'diapa2kan' itu Nauka?!! o_O;

Dugaan bener ^^;
Tapi penasaran, siapa satunya lagi...

wkkk ini efek samping kebanyakan dengerin "Crazy Life" lol

sweet sexy world <3

Parah!! masih mending kalo itu cewek-cowok ^^;
Gw ampe ngebayangin Nauka ama orang misterius itu dicerita...

*ngerinding* *ditabok*

kan sweet sexy world

*ngebayangin yuyun joget sexy lol*

YUYUN~~~

ayuri wajip denger deh tuh lagu atu! khukhukhu... theme song BL (loh?*)

Beberapa minggu lagi aku akan keluar dari tempat ini. Mereka menganggap aku telah sembuh. Padahal pada kenyataannya sejak awal aku tidak pernah sakit. Mereka hanya ingin terlihat pintar dengan mengucilkanku.

Tapi sejujurnya aku harus berterima kasih pada mereka. Jika aku tidak pernah pergi ke tempat ini, tentu aku tidak akan pernah bertemu dengan dia. Dialah yang benar-benar mengajarkan tentang kehidupan padaku.

Kudengar dia masih harus tinggal di tempat rehabilitasi ini untuk beberapa bulan. Kudengar penyakitnya malah bertambah parah.

Untuk sesaat kulemparkan pandanganku padanya yang sedang terlelap di kursinya, mukanya diletakan pada meja belajarnya.

Tidak ada yang salah darinya. Tubuhnya besar dan kuat, lebih besar dan kuat dariku. Padahal kita seumur. Dan kurasa kekurangannya hanyalah bahwa ia tidak dapat mengingat nama. Tapi setidaknya ia sudah sedikit-sedikit mengingat namaku. Itu cukup.

Apa arti sebuah nama di kehidupan ini? Apa salahnya jika kamu tidak bisa mengingat nama teman-temanmu? Asalkan kamu tahu bahwa kamu menyayangi mereka, kurasa itu sudah cukup.

Ia terbangun.

"...Oh, hai," sapaku padanya. "Tidur siangmu lama juga ya."

Ia tampak merenggangkan otot-otot tubuhnya lalu tersenyum.

"Ya. Akhir-akhir ini porsi tidurku bertambah. Entah kenapa aku gampang lelah sekarang," jelasnya.

Mendengar itu aku mulai berpikir penyakitnya lebih dari defisiensi memori. Tapi tampaknya kutanyakan padanya juga percuma.

Aku bangkit berdiri dan berjalan ke luar, ke arah koridor tempat rehabilitasi.

Samar-samar terdengar suara-suara para orang dewasa. Diam-diam kuintip mereka dari balik tiang penyangga tembok. Dapat kulihat ketua asrama, ketua rehabilitasi dan beberapa orang berpakaian formal berbincang-bincang.

"Bagaimana perkembangannya?" tanya seorang yang mengenakan baju formal dan memiliki postur tubuh yang tinggi.

Ketua asrama hanya menggelengkan kepalanya dan ketua rehabilitasi hanya tersenyum kecut.

"Ada apa?" desak orang tinggi itu lagi.

"Dugaan kita memang benar, tapi umur dia tampaknya tidak akan lama lagi," jelas ketua asrama dengan suara bergetar. "Tampaknya dia sendiri tidak menyadarinya. Kita sudah terlambat."

"Bagaimana bisa?! Berapa sisa waktunya?" tanya teman orang tinggi itu, tubuhnya terlihat sedikit gemuk.

Ketua asrama tampak menggigit bibirnya dan tak sanggup bicara.

"Mungkin hanya 2 bulan," jelas ketua rehabilitasi, mewakilkan ketua asrama yang isak tangisnya mulai terdengar.

Kedua orang berpakaian formal itu tampak kaget dan saling berpandangan.

"Kurasa membawanya pergi sekarang juga percuma... Lebih baik kalian pulangkan dia pada orang tuanya." ujar si gemuk.

"Anak itu begitu berpotensi. Kekuatannya juga sebenarnya tak sebanding dengan apa yang seharusnya ia dapatkan," tambah si tinggi dengan nada menyesal. "Alice yang dia miliki begitu unik dan indah."

Aku terdiam. Banyak sekali hal yang tidak kumengerti. Awalnya mereka membicarakan soal kematian, lalu beralih pada suatu kata yang tidak kukenal; alice.

"Ya," timpal teman si tinggi itu. "Sejujurnya aku bingung kenapa anak itu menggunakan alicenya sebanyak itu, hingga sisa hidupnya berkurang secara drastis."

Ketua asrama mengusap air matanya dan menjawab, "Dia menggunakannya pada teman sekamarnya. Dan kami lihat dia cukup sering menggunakannya."

"Sungguh sia-sia ia menggunakan alicenya untuk anak yang bermasalah seperti teman sekamarnya itu," komentar ketua rehabilitasi.

"Bukankah teman sekamarnya juga memiliki 'potensi'?" tanya si gemuk.

Ketua rehab menggeleng cepat, "Dugaan kita salah. Dia hanya anak bermasalah biasa. Makanya kita akan segera memulangkannya dalam waktu dekat."

"Anak yang bernama Nauka itu?" tanya si tinggi memastikan. "Jadi dia ternyata tak memiliki alice, dan selama ini berada di bawah alice anak itu?"

Aku bingung mendengar namaku disebut-sebut. Jika namaku disebut berarti anak yang satunya lagi adalah... adalah dia.

Dia akan mati? Mungkin. Sejujurnya aku telah merelakan kalau ada seseorang yang kusayangi meninggalkanku untuk selamanya. Toh aku tahu betul semuanya akan meninggalkanku pada akhirnya.

Tapi entah kenapa aku merasa bersalah. Sepertinya aku telah mengambil kesempatan hidupnya. Sepertinya aku telah mengambil kesempatannya untuk menikmati hidup ini. Sepertinya begitu, meskipun aku tidak begitu mengerti bagaimana aku melakukannya.

"Alice 'Positive'. Alice yang membuat orang lain merasa optimis dengan cara mentransfer memori baik, perasaan baik dan bahkan nyawa pada mahkluk hidup lain. Unik ya," gumam si tinggi sambil mengusap dagu. "Dan sebenarnya sangat indah."

"Ya. Kalau saja kita sadar lebih cepat dan dia tidak menggunakannya sebanyak itu pada Nauka," keluh ketua asrama. "Sia-sia ia gunakan pada anak bermasalah itu. Lebih baik untuk mengembangkan potensi negara."

Perasaanku sakit seperti disayat-sayat pisau tumpul. Pisau tumpul lebih menyakitkan dari pisau tajam. Pisau tajam dapat membunuhku dengan segera. Pisau tumpul hanya menyiksaku.

Kuberbalik dan berlari ke arah kamar kami. Ia tampak tergeletak di lantai.

Panik, kuhampiri dirinya dan kugoyangku tubuhnya.

Ia membuka matanya perlahan dan tersenyum.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku memastikan.

Ia mengangguk dan menarik kerah bajuku. Aku tak kuat melawan tangannya yang kuat dan menjatuhkan kepalaku pada dadanya.

Kudengar suara detak jantung. Suaranya indah dan teratur.

Berapa lama lagikah sisa waktuku untuk dapat mendengarnya?

TBC

He~
bagus~ bagus^^

cuma rada mirip pasangan homo, tapi bagus^^

Hime ga baca yg awal2 ya? ^^;;

di awal2 uda ada ******nya loh hehehe

Baca kok^^ cuma baru komen akhir2, hehe..

Hime kirain cowo-cewe, tapi setelah liat jawabannya kappa yg ga jelas (awal2) jadi mikir lagi.
Ternyata bener hehe.. (tapi ceritanya kok manis yah^^? *merinding*)