Feeling? (Kamar Ayuri - malam hari sedang hujan)

Ayuri kembali ke ruang pasiennya. Di luar, hari masih saja gelap dan awan mulai mendung. Dia masih memakai baju misinya yang penuh dengan darah di mana. Wajahnyapun juga berlumuran darah; luka dalam tubuh maupun darah yang melekat dikulit menjadi satu.

Hujanpun mulai turun, ruangannya mulai dingin ditambah dengan tempat yang tidak bernyala lampu membuat hawa semakin dingin. Suara derasan air dari langit yang keras terdengar jelas oleh gadis pemakai Alice transformasi ini.

Dia tetap memakai topeng kupu2nya lalu duduk di jendela dekat tempat tidurnya. Hanya cahaya dari luar saja yang dapat menerangi sedikit di kamar pasien tersebut. Ayuri memandangi hujan yang semakin deras.

"...manusia...apakah...aku adalah manusia?" tanyanya yang seolah mengarah kepada diri gadis berambut merah ini.

Tiba-tiba Nauka muncul dari balik jendela. Ia mengetukkan jemarinya pada kaca jendela.

Matanya menatap lurus ke arah Ayuri dengan pandangan serius jarang sekali ia tunjukkan.

Ayuri yang melihat Nauka berada di luar yang sedang hujan, segera membukakan jendela dan memasukkan lelaki itu ke dalam.

Kemudian, dia membongkar lemari untuk mengambil handuk kecil lalu memberikan kepada Nauka.

Nauka menepis handuk itu dan tetap menatap Ayuri serius.

"...Kenapa kamu menghentikanku?" ujarnya dengan nada rendah. "Sekarang, apa yang terjadi pada'nya'?"

"..." Ayuri terdiam. Kemudian dia membalikkan badannya membelakangi Nauka.

"...entahlah...aku hanya merasa harus menghentikanmu untuk melakukan tindakan yang konyol..." ujarnya tidak berbalik muka meskipun wajahnya ditutupi topeng kupu2nya.

"...yang sudah terjadi...terjadilah...kita tidak bisa merubahnya lagi..." lanjutnya.

Nauka menatap tajam ke arah Ayuri dan merampas topeng kupu-kupunya, membanting topeng tersebut di lantai dengan penuh emosi.

"Apa maksudmu 'konyol'? Maksudmu dia lebih normal dariku?!" bentaknya kasar.

Matanya tampak basah. Mungkin ia menangis, tapi mungkin juga itu hanya sisa-sisa air hujan.

"..." Ayuri tetap tenang, wajahnya tidak menunjukkan emosinya.

Dia tertunduk sedikit. "...apa yang ia katakan benar...ini adalah...keinginannya..." ujarnya halus.

Nauka mendengus. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia lebih ke arah resah ketimbang marah. Resah sekali.

"Aku tidak peduli Azure mau mati atau tidak! Toh semua juga akan mati pada akhirnya," ujarnya kemudian, setelah sekian lama hanyut dalam emosi sendiri. "Yang aku pedulikan adalah orang itu!"


"Dan kmu justru membela dia!" tambahnya dengan nada penuh penekanan.

"...aku tidak membela siapapun...aku tidak menyukainya..." ujarnya membalikkan badannya lagi.

"...kenapa kau begitu kesal terhadapnya?" tanya balik Ayuri kepada Nauka.

Mendengar pertanyaan Ayuri, Nauka cuma menggigit bibirnya yang bergetar karena kedinginan.

"...tadinya aku memang berpikir bahwa masa lalu adalah masa lalu," bisiknya lemah. "Persis seperti katamu, Ayuri. Tapi--"

Kata-katanya terputus dan ia mulai terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sejak awal flunya memang belum sembuh. Ia mulai tampak pucat dan sangat lemas.

"..." Ayuri masih belum membalikkan badannya menghadap Nauka.

"...manusia tidak bisa menghapus masa lalu..." gadis berambut merah itu mengambil segelas berisi air teh panas.

"...namun...karena masa lalu itulah kita menjadi seperti ini hingga sekarang..." Ayuri membaringkan Nauka ke tempat tidurnya. Kemudian dia duduk di sampingnya Nauka.

Nauka mengatur nafasnya.

"Itu sih aku juga tau," komentarnya dengan nada sedikit ketus. "Yang aku tidak tau sebelumnya adalah... begitu besarnya efek masa lalu pada masa kini."

Ia kembali terbatuk-batuk dan mulai menggigil.

"...itulah penderitaan yang kita terus bebankan hingga sekarang..." Ayuri kemudian melihat ke jendela yang diluar masih turun hujan deras.

Ayuri mulai membongkar lemari lagi dan mengambil baju pasien yang masih ada lalu memberikan kepada lelaki yang terkena flu berat itu.

"...gantilah..." ujarnya halus.

Suara batuk masih tetap keluar dari mulut Nauka. Ia menatap baju pasien itu dengan tatapan heran untuk sesaat.

Kemudian ia bangkit dan membuka bajunya yang basah, tidak mempedulikan Ayuri yang masih di ruangan, dan berganti dengan baju pasien yang diberikan Ayuri.

Sekilas terlihat bekas-bekas luka kecil yang tampak tidak berarti, tapi dalam jumlah yang lumayan banyak menghiasi kulit pucatnya.

Ayuri tidak memperhatikan Nauka sewaktu ganti baju. Dia terus menatap hujan di luar.

Gadis berambut merah itu mengambil topeng kupu2nya yang terjatuh dan diletakkan di atas meja. Dia kemudian mengambil beberapa pil obat flu dari lemari dan memberikannya kepada Nauka beserta segelas teh panas.

Baju misi yang berlumuran darah di mana2 masih dikenakannya juga dan dia tidak menggantinya. Kemudian Ayuri duduk di tempat semula (kursi samping tempat tidurnya di mana Nauka berbaring)

"Kenapa kamu jadi meladeniku seperti ini?" tanya Nauka sambil mengambil teh panas itu. "Biasanya kmu statis."

"..." Ayuri tidak menjawab. Suasana menjadi hening. Sekian lamanya, dia akhirnya membuka mulutnya.

"...perlukah alasan?" tanya balik Ayuri dengan wajah tidak beremosi.

"Manusia mempunyai banyak pertanyaan jika ingin tahu, bukan?" ujar Nauka mengutip kata-kata Ayuri. "Lagipula, jika kmu tidak membela siapa-siapa, bsa saja kmu membunuhku sekarang."

"Ak tidak mengerti kmu, Amon, Azure dan juga orang aneh yang tidak dikenal itu," lanjut Nauka. "Apakah kalian menunggu saat yang tepat untuk menjatuhkan kepercayaanku setelah kalian membawaku tinggi?"

"...Apakah kmu akan meninggalkanku juga?"

"..." Ayuri lagi2 terdiam; tidak menjawab pertanyaannya Nauka. Entah apa karena dia tidak bisa atau sifatnya yang memang tidak bersahabat itu.

"...aku... masih ingin mempunyai perasaan manusia..." jawabnya.

"...apakah...air mata itu...juga merupakan perasaanku?"

"Mana kutahu perasaanmu?" Nauka meneguk pelan tehnya dan masih terbatuk-batuk. "Memangnya aku terlihat seperti cenayang?"

"Perasaanku sendiri saja aku bingung memikirkannya, apalagi perasaan orang lain?"

Ia menaruh gelas kosong yang tadi berisi teh dan menatap lurus ke arah Ayuri. Tampaknya ia sudah sedikit lebih tenang.

"Disini sakit," lanjutnya sambil menunjuk dadanya. "Lalu disini, rasanya pusing sekali," tangannya beralih dan menunjuk ke arah kepalanya. "Di saat yang sama, kadang-kadang aku bisa merasa panas sekali di sekitar tenggorokkan dan pipiku."

"..." Ayuri lagi2 diam. Sekian menit kemudian, dia berbicara. "Istirahatlah...kau masih sakit..." ujarnya seolah2 mencoba untuk melompat topik yang dibicarakan.

"Aku selalu sakit kok," jelas Nauka. "Sakit jiwa--itu kata mereka."

"Kmu juga sakit," lanjutnya sambil menunjuk badan Ayuri yang berlumuran darah. "Sebaiknya cepat dibuang sebelum ketahuan pihak yang lain."

"...aku sudah terbiasa..." ujarnya sebelum dia meninggalkan ruangan.

Ayuri keluar dari kamarnya sebentar sekitar 10 menit. Dia kembali dengan pakaian baju pasiennya dan membawa pakaian misinya yang sudah penuh dengan lumuran darah.

Dia kemudian duduk kembali di samping tempat tidurnya di mana Nauka berbaring. Hujan masih belum berhenti malah semakin deras membuat ruangan bertambah dingin.

"...kau normal...tidak ada keanehan darimu..." ujarnya menanggapi perkataan Nauka sebelumnya.

"Perkataanmu bagus untuk seseorang yang tidak bolak-balik masuk rehabilitasi dan tidak menghabiskan masa kanak-kanakmu berjam-jam di ruang konsultasi dokter kejiwaan," tanggap Nauka sambil menarik kedua lututnya ke dekat dagunya, lalu meletakkan dagunya di antara lututnya itu dalam posisi duduk di atas tempat tidur.

"...dingin ya." ujarnya tiba-tiba, menanggapi suhu. "Aku jadi terjebak disini deh. Malas balik ke asrama."

"...tidurlah kalau kau mau..." ujar Ayuri halus kepada Nauka.